Senin, 01 Desember 2014

" Plasma Pujangga

Sayang sekali. Angin gagal membawaku ke persimpangan tempat perjudian. Ditelanjangi mereka diam saja. Tidak punya malu orang itu. Bunga-bunga yang masih menempel tiba-tiba menua dan satu demi satu bunga itu pun gugur dengan sebab. Sebabnya jelas. Mata mereka dicungkil dari akarnya hingga lendir-lendir merah itu bercucuran. Cucuran itu pun tak terlalu kental, cair. Betapa dahsyat. Kerikil kecil itu ternyata tajam. Begitu saja mereka tak dapat melompatinya, Apalagi yang besar.

Sejenak aku teringat padamu Dinda, parfum apa yang kau pakai saat ini. Angin menghembuskan aura tubuhmu itu tepat kepadaku yang saat itu dibelakangmu. Daun pun sampai jatuh dan berputar-putar di hadapanku ketika itu. Kucium ini serbak bunga melati, dinda.

Lekukan itu indah, dengan sedikit polesan sutra yang belang dan belaian seribu helai. Pelukan hangat saja dapat mengalahkan segala rasa candu yang mengikat ini. Tak dapat aku memutuskan. Bahkan pedang Katana pun tak juga dapat. Permata yang melekat pada matamu itu, jatuh jantungku rasanya. Aku tahu, permata itu akan bersinar pada malam hari ketika bulan masih nampak setengah dan kau dinda, menatapnya. Dan alis itu, garis-garis tipis yang melekat membentuk suatu lekukan seperti sisi-sisi daun yang beterbangan.

Sayang sekali. Air tak dapat menarikku pada tempat suci itu. Berat sekali ranjau ini. Dengan duri-duri yang dilengkapi dengan peledak. Aku memikulnya. Jatuh pun tak akan kubiarkan. Bila jatuh, hancurlah raga ini. Keringat yang menetes pun akan kukumpulkan dan bila sudah banyak akan ku siram pada tanaman bejat ini. Orang gila. Senang aku dengan robekan pada kain ini. Dan coretan bercak tak jelas dengan bau busuk yang menyerbak, menggangguku. Sesaat ku teringat pada air keringatku. Baiknya kupanaskan saja dan kuminum. Setidaknya aku berpenghasilan.

Oh, dinda. Permata itu terlindung oleh pedang-pedang malaikat. Mata pedang itu terdapat di semua sisi. Bahkan, mendekat pun aku tak mampu. Asap benalu bersimbah dengan bebas. Dengan asapnya itu aku merasa sesak. Ku hirup, tak berguna pikirku. Lebih baik kulumat saja dengan air dan menelannya, dan biar saja benalu itu diputar-putar dalam perutku ini dan menjadi sebuah gumpalan busuk. Tapi tetap saja. Satu meter pun aku tak mampu mendekatimu. Melihat sinar permata itu pun aku tak bisa. Sehingga ketika kau tersenyum, senyum itu mengeluarkan sebuah jimat pelumat kebusukan. Tahukah kau, kau tersenyum pun hati ini dapat gugur dengan cepat tanpa sisa yang bahkan tak dapat kau lihat. Andai saja aku bisa mengumpulkan serpihan itu dan memberikannya padamu. Mungkin sudah kau masukkan ke dalam sebuah perapian yang pikirmu itu adalah serbuk dupa.   

Buah yang jatuh  itu tak jauh dari pohonnya. Tapi aku jauh. Pohon itu tumbuh di tepi tebing dan ketika buahnya tumbuh dan gugur mata buah itu akan menggelinding ke bawah dan akan jauh dari pohonnya. Buah itu pun hingga tak dapat melihat pohonnya. Terdampar pada duri-duri, ilalang, dan kegelapan yang merenggut jiwa dari gen pohon. Kenapa pula pohon itu tumbuh di pinggir tebing. Kenapa tidak di jalan raya saja. Supaya ketika buah itu jatuh, langsung saja dilindas oleh mobil dan hancur, tak ada, mungkin pohonnya pun lebih baik ditabrak saja. Dan kau tumbuh dengan adanya aturan yang berurutan dinda. Matahari kau ikuti. Pantas saja wajahmu bersinar. Dengan tangan lembut yang selalu lembab, aku merindukannya. Kuku itu kilap. Kadang silau aku melihatnya.

Tapi memang bodoh. Kunci yang tak kutemukan ini membingungkanku. Beribu-ribu kunci ada di tanganku, sedangkan di depanku, hanya ada satu pintu. Pintu dengan corak corak indah di sebelah kanan, dan corak-corak aneh disebelah kiri. Kayunya pun kayu jati. Dan sepertinya umurnya sudah tua. Kunci itu dilengkapi dengan kombinasi angka yang semakin membingungkanku saja. Orang disekitarku berjalan. Sejenak mereka melihatku. Dengan tatapan mata putih, tanpa lingkaran hitam. Sejenak, mereka meninggalkanku. Putaran ini tak jelas, persimpangan yang tadinya hanya ada tiga, saat ini menjadi empat, lima, enam, dan seterusnya. Kulempar satu persatu kunci itu pada setiap arah persimpangan. Hanya bunyi klentingan yang aku dengar. Sedangkan kau dinda, ada di pintu itu.

Rona itu dinda. Bisakah kau sesaat tampilkan kepadaku rupa yang jelek. Hingga aku tak lemas jika kulihat kewanitaan itu. Gerai dan kibasan yang memantulkan cinta dari cermin, menuju hati yang paling dalam ini. Tapi kau menyiksaku dengan ini. Tapi ku cinta dengan ini.

Kulihat plasma-plasma ini gagal menghampiriku. Dengan sedikit cahaya putih dan diikuti oleh cahaya hitam, aku melihat.

Tetap saja mereka ditelanjangi diam saja. Tangan mereka dipotong dengan paksa, dan terlihat pula tulang putih itu masih teraliri sedikit darah. Sudahlah. Potong saja sekalian kaki itu. Setidaknya mereka merasakan kesakitan yang sama. Lembaran-lembaran itu tampaknya berharga. Ada warna merah, biru, putih, dan sebagainya. Aku tak tahu. Sesaat kulihat tangan mereka tumbuh seperti semula dan terjulur pada lembaran itu, aku terbelalak. Bagaimana bisa. Darah dari selangkangan itu masih bercucuran. Kotor. Angin tetap saja masih bisa membawaku pada tempat permainan ini. Singgah pada kekeramatan dunia sempit yang di dalamnya masih terdapat ruangan yang sempit pula. Perkakasnya pun hanya terbuat dari kayu. Pintunya berlubang.

Perhelatan hebat terjadi diantara lingkaran api yang besar, bahkan hampir membakar mereka. Ditelanjangi mereka diam saja. Saling pukul, saling tendang, dan saling menghina. Menangis pun mereka tetap melanjutkan. tidakkah mereka haus, setidaknya berhentilah sejenak dan minumlah air.

Nampaknya mereka memang tak punya malu. Tidak berbusana, bahkan daun pun bisa. Sayang sekali. Api gagal membawaku pada tempat yang keramat itu. Tapi aku teringat padamu dinda. Sedang apa kau sekarang. Sedang tidurkah kau. Sedang mandikah kau. ah, sudahlah. Permata itu terlalu bersinar. Kepada debu yang berhamburan tak jelas kemana arah. Arahnya pun masih dilalui dengan bingung tanpa penjelasan. Hendak kemana. Aku tak tahu. Setidaknya aku teringat pada keringat hangat ini untuk kukumpulkan. Untuk bekalku nanti. Perjalanan ini pastinya akan panjang, dengan liku yang melonjak dan menurun dengan terjal kuharap aku mempunyai cakram untuk berhenti.

Ya Ilahi, hendaknya biarkanlah aku sejenak dapat menyentuh raganya. Aku merindukannya. Belati pun akan tumpul bila tak bertemu dengan batu asahan itu. Bagaimana baiknya aku. Aku tak dapat kebaikan. Jahat pun aku tak dapat mengira. Bila nanti. Aku masih dapat melihatnya. Dia duduk di sebuah kursi kayu di pinggir taman. Dengan Kulihat matanya masih segar. Air muka itu masih cerah tanpa sentuhan polusi-polusi kotor. Angin pun senang kepadanya, hingga rambutnya pun mereka geraikan dengan indah. Melintas aku sejenak, pada ubun-ubunnya. Tetap saja sehasta pun aku tak dapat mendekatinya.

Alunan detak nadimu kurasakan dinda. Pesona indah yang memancar kupantulkan satu-persatu pada ranting-ranting pohon kecil itu. Tahukah kau, hingga ranting-ranting itu patah tanpa bunyi yang bahkan tak kau sadari sekalipun. Bila saja matamu tak sengaja menatap mataku ini, tak apalah jika kau ketakutan, tapi maafkanlah aku dinda. Aku tak bermaksud. Hati ini sebenarnya masih bersih ketika kau mengenalku. Lembaran yang pernah kau tuliskan padaku itu masih ada. Kusimpan dengan baik. Di dalam sebuah kotak kaleng bergambarkan pemandangan kota bandung, dengan hiasan pelangi bermata indah. Tapi kini aku tak dapat menyentuhnya dinda. Senandung lagu pun tak bisa kuhayati. Meleleh akan kedinginan yang saat itu aku rasakan.

Aku melayang pada sebuah lintasan yang berangin. Nampaknya angin berbentuk seperti helai demi helai daun kamboja dengan diiringi debu bekas tayammum. Sesekali aku mengusap wajahku. Barangkali ada sesuatu yang dapat aku temukan di sekitar batu-batu ukiran bermenara dua ini. Setidaknya seseorang tukang sapu, tak apalah. Kasihan kulihat tukang sapu itu. Terlalu banyak dedaunan kamboja yang harus dibersihkan di tempat seluas itu. Tempatnya pun tak rata, gelombang kesana-kemari menghalanginya. Entah sudah berapa tumpukan yang ada, aku tak sempat menghitung. Yang akhirnya dibakarlah itu. Asapnya bisa kurasakan. Sesak telah melegakan dada ini. Bau itu masih segar dengan sel-sel busuk yang beterbangan di antara anai-anai yang menari bebas.

Plasma ini berujung lancip pada ujung badanku. Melata rasanya. Terjatuh pun aku tak dapat mengira. Apalagi melayang. Entah indra baru apa yang kurasakan. Bumi rasanya enggan diinjaki oleh makhluk laknat berlumur dosa. Kusentuh pun aku akan terpeleset adanya, kadang pun amblas menuju perut bumi. Tak heranlah aku dengan semua ini. Semuanya dapat kukira.

Keluar aku dari tempat sunyi itu. Biarlah kutinggalkan orang tua itu sendiri. Dia sedang bekerja, dan aku tak mau mengganggunya. Jalanan masih basah. Aromanya masih segar menyerbak di rongga hidung ini. Bekas roda cikar itu masih jelas adanya. Orang-orang yang baru saja dari pasar mungkin sedang menuju perjalanannya pulang menuju kampung. Ada yang jauh bahkan jauh sekali. Dengan sebuah cikar pikirku. Kupikir butuh waktu yang sangat lama. Dan sekelebat aku masih memikirkannya.

Mengapa pula aku masih memikirkanmu dinda. Telah lama aku sudah meninggalkanmu. Toh sekarang aku pun tak dapat menyentuhmu. Ini semua gara-gara angin ini. Tanpa izin mereka menyeretku pada perjalanan ini. Perjalanan yang membongkar semua dunia belaka tanpa arti. artinya pun tak begitu penting pikirku. Aku saat ini jauh dinda, bisa saja berjarak beribu-ribu tahun cahaya. Entah apa itu, aku tak begitu paham. Aku masih mengingatmu. Kemarin aku masih melihatmu. Berada di depanku dengan senyum indah merona, yang sepertinya kau hendak mengatakan sesuatu kepadaku. Tapi entahlah setelah itu aku lupa akan semuanya. Hilang. Semuanya hilang seketika. Sebab angin ini.

Dan saat ini, tempat dimana kuberada ini menakutkanku. Berpindah dengan cepat yang bahkan aku tak tahu kemana angin membawaku. Aku tak tahu hari apa ini, tahun berapa, bulan apa. Mengapa sebodoh ini aku.

Tempat sunyi itu telah jauh berada dibelakangku. Hanya jalan setapak yang kulewati saat ini. Rumput-rumput bertanda ada garis bertanah, kupikir itu jejak jalan orang. Kuikutilah jalan itu. Setidaknya aku tidak kebingungan. Hingga sampailah pada sebuah kerumunan orang bersarung sutra. Dengan lingkaran bersandar bambu. Sudilah pikirku mereka menyiksa mahkluk yang akhirnya akan mereka makan juga. Pintar sekali pikirku. Mereka tak hendak ingin repot. Gunakan saja yang ada, toh baik buruknya akan mereka nikmati sendiri nantinya. Mereka tertawa akan teriakan duka. Duka yang tak berdaya itu menjerit. Jeritan itu pun tak mereka pedulikan. Bahkan mendengar pun tidak.

Tak kusuka tempat ini. Batu-batu pinggiran pembatas jalan ini telah berlumut. Jalanan ini pun masih berbatu. Nampaknya ada sebuah kelurusan disini pikirku. Ada tempat suci disini. Walaupun masih berlantaikan tanah, setidaknya adalah sebuah pencerahan bagi pedalaman berstatus perawan ini. Tak hendak aku masuk untuk melihat lebih dalam. Telah dapat kukira. Tidak ada yang spesial, semuanya sama saja. Yang jika aku melihat kebelakang lagi, kerumunan orang itu masih terlihat, bahkan tak sampai 3 rumah pikirku.

Aku sampai pada genderang kekeringan. Gemetar ini dapat aku rasakan meskipun aku tak menyentuh. Bunyi gemuruh membutakan aku dan telingaku dari segala pengaruh-pengaruh bejat yang saat ini mencoba untuk membunuhku. Aku berlari, tapi aku tak tahu arah. Yang kulihat hanyalah hamparan pasir tanpa batas. Hanya gundukan-gundukan yang aku temukan. Panas sekali tempat ini. Bahkan anginpun yang kadang aku rasakan dingin, disini terasa begitu hangat, bahkan mungkin panas. Tak dapat aku membayangkan. Betapa tersayat hati dan raga jiwa yang luka itu. Aku tak berani untuk kasihan. Karna kepercayaanku kini pun sudah hilang.

***

“ Kanda bangun !, ini aku Dinda  “, suara samar itu kudengar di ketidaksadaran ini. Hingga perlahan kubuka mata ini. Ruangan tidak terlalu luas ini aku bertanya dengan kebingungan, “dimana aku ?”. hingga aku menemukan seorang wanita, “Dinda”. kulihat ada air menetes di sudut matanya itu. Aku bertanya “ hei, apa kabar ?, lemas nada ini. “ a,,aku baik “, tersedu dia menjawab. Kuusap air mata itu. Ah, aku masih dapat menyentuhnya. Lembut aku rasakan kulitnya dan belaian tangannya itu. Aku masih dapat menyentuhnya, dan mungkin melihat senyumnya.
“ aku tak apa “, kucoba untuk menenangkan.
“Kamu tertabrak begitu keras, bagaimana kamu bisa bilang begitu”, semakin menjadi dia menangis.
Hingga aku tersadar aku baru mengalami kecelakaan beberapa jam kebelakang tadi. Entahlah aku merasa begitu lama berada di dunia senja tanpa sinar yang kadang pun langsung berganti fajar. Hingga aku teringat pada Dinda. aku merindukannya, ingin menyentuhnya seolah aku tak hendak melepaskannya. Terlalu lama aku jauh darinya.

“ hei dinda, saat di jalan tadi aku ada di belakangmu !, kucoba untuk menghiburnya. Dinda nampak kebingungan. “ bagaimana bisa kamu di belakangku, sedangkan aku melihatmu tersungkur didepanku”. “Ya,.. aku tahu”.



Rahman Syaifudin
2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon kritik dan saran temen-temen Anak Muda. jangan di kritik saja, juga beri saran supaya halaman ini menjadi inspirator bagi temen-temen Anak Muda.